Bertemu Dan Berbagi Dalam Budaya dan Agama

“bertemu, terbuka, menyerap dan berbagi.. disitu kebahagiaan, bisa belajar tanpa henti.”

Seperti orang bepergian jauh (bayangkan anda pulang mudik dari Jakarta kedaerah) pada setiap tahapan menemukan suka dukanya sendiri. Saat anda lalui jalan tol, saat anda lewati daerah pegunungan, saat anda masuk wilayah pantai datar, masing-masing ada pemandangan, ada jenis rumah makan, ada jenis kendaraan yang kita temui dengan kecepatannya sendiri. Demikian dalam hidup kita: setiap bagian waktu, bagian tahapan banyak pengalaman yang bisa kita nikmati, kita syukuri atau kita terima dengan kecewa, kita sesalkan.

Setelah selama setengah bulan ini saya tidak menulis di Kompasiana, dalam refleksi akhirnya saya temukan kegiatan yang hampir sama :  Bertemu orang dan realita; Terbuka, menyapa dan membuka diri terhadap orang dan realita; Belajar dan Menyerap pembelajaran, mungkin itu hikmah atau sekedar gagasan, akhirnya juga berbagi. Kesemuanya sesuai dengan konteks dan kerangkanya baik tempat maupun waktu.

Sejak kita saling bertemu, berjumpa, pertemuan membuat ada Penemuan Diri.  Juga ada beberapa penemuan lain baik yang sederhana maupun yang saling berkaitan. Dari sepotong sejarah seorang filosof yang bertemu dengan sebuah kota pelabuhan. Dia menemukan pengalaman, melihat menyaksikan hilirmudiknya perahu dan kapal besar kecil datang dan pergi tiada henti berganti ganti. Dia berkata : Yang ada dan selamanya ada itu “Perubahan”. Yang tetap niscaya ada adalah perubahan, lainnya itu nisbi. Itu penemuan kedua.

Pertemuan saya lainnya: dengan petani beberapa suku di Mindanau Pilipina Selatan sekitar tahun 1992, dan di Thailand Utara tahun 1995, memberikan kesan dan pesan bahwa kehidupan yang tertutup itu tidak menguntungkan. Banyak ketertinggalan kalau komunitas atau perorangan itu tertutup dan tidak bisa menyerap pembelajaran dari luar atau orang lain. Ditahun itu banyak petani pedalaman disana sedang diajak oleh pemerintah dan LSM setempat mulai dengan tehnik menanam padi secara lebih tartata. Sedangkan petani di Jawa sudah menggunakan cara menanam padi dengan persemaian bukan penyebaran acak disusul penjarangan. Akan tetapi tampak ada hikmahnya juga: kedekatannya dengan alam dan budaya setempat yang masih terpelihara rupanya melestarikan “sikap hidup berserah” kepada Penyelenggaraan Illahi, dan keakraban persaudaraan antar mereka. Dan pelbagai keterbatasan memberi peluang untuk kreativitas.

Pertemuan penulis yang khas adalah perjumpaan dengan tokoh dan pakar internasional dibidang ilmu perbadingan agama. Mereka “tamu” disponsori oleh Deplu, Depag, Depdikbud, Perguruan tinggi a.l. UGM, UIN Sunan Kalijaga, Unikris Satyawacana, berkunjung ke Gereja Katholik Ganjuran dalam kurun 3 tahun terakhir ini.  Penulis adalah seorang petugas awam Gereja itu. Para tamu itu terdiri dari pelbagai pemeluk agama, Islam, Kristen, Budha, dst. Berasal dari Jerman, Belanda, dan sekali dari lembaga Asia tamu Depag. Menjawab pertanyaan, penulis harus berbagi atas nama Gereja itu bagaimana dan mengapa di Gereja ini bisa diselenggarakan ibadat dengan menggunakan budaya dan seni daerah (Jawa). Seperti dapat diketahui Gereja Katholik mempunyai antara lain Ritus Latin, dan Ritus Byzantium (‘Timur’) yang masing-masing memiliki variasi-variasi etnis setempat. Ritus adalah suatu tindakan keagamaan yang bersifat seremonial. Di Geraja Katolik Ganjuran pada dasarnya tetap memakai ritus Latin. Tetapi disana dilakukan yang disebut Inkulturasi, yaitu penggunaan budaya Jawa dalam ritual dan seremonialnya. Seperti : Bahasa, Seni Suara, Tarian, Pakaian, Gamelan, Benda-benda sebagai peralatan, symbol, gaya bangunan, keseluruhan untuk membantu penyampaian dan pemahaman ajaran serta penghayatan iman oleh Umat orang Jawa. Mengapa demikian hal itu bisa terjadi di Ganjuran yang ternyata demikian dikenal dan menjadi perhatian luas.? Pada dasarnya Budaya Jawa ada “kedekatan” dengan Gereja Katholik di Ganjuran. Dalam dua hal sekurangnya : a. factor sejarah Gereja tersebut, perintis Umat disana pecinta budaya Jawa b. kecenderungan penggunaan symbol orang Jawa dan pula Gereja.  Dan para pakar yang datang  yang dari pelbagai agama dan etnis, itu dengan suka hati menerima penjelasan saya dalam dialog penuh kedamaian. Bisa dipahami bahwa Gereja Katholik  juga tidak asal-asalan melakukan inkulturasi terhadap suatu kebudayaan, jika tidak yang terjadi bukannya inkulturasi melainkan sinkretisme. Sinkretisme disebut dalam kamus Inggris sebagai penyatuan aliran. Sedangkan dalam hal agama, istilah ini  disebut mencampur adukkan agama-agama. Budaya Jawa bukan Agama, meskipun memiliki filosofi yang indah dan mulia (adiluhung). Maka pertemuan Budaya Jawa dan Agama Katholik disana itu menjadi perpaduan yang saling memberi tempat terhormat sesuai dengan peran yang tertata, sedemikian rupa sehingga siapa yang menyaksikan maupun apalagi yang terlibat disana bisa  menikmatinya..

Pertemuan berikut penulis alami dalam dua minggu yang lalu adalah bersama komunitas umat Katholik sendiri yang istimewa cinta dan gemar menggeluti budaya Jawa, dalam seni budaya adat dan kebiasaan serta filosofinya. Pada hari Rebo Legi tanggal 27 Mei yang lalu diawali dua orang pemrakarsa terkumpul sepuluh orang yang sepakat untuk mengadakan pertemuan sarasehan setiap hari Rebo Legi (jadi 35 hari sekali). Secara sederhana disepakati tentang tujuan dan acara rutin setiap pertemuan selanjutnya, yaitu menggeluti spiritualitas agama Katholik dengan sarana sarana budaya Jawa. Pada kesempatan itu sempat didalami bersama makna dan isi istilah bahasa Jawa : “amengagem raos”. Dalam Olah Rasa itu sebenarnya yang disasar dalam diri pribadi orang itu yang mana ? Dan apabila kita diajak memperdalam “iman”, sehingga bisa dikatakan relevan dan signifikan, berbuah dalam perbuatan kasih dam direnungkan dalam Olah Rasa akan dicapai intensitas sejauh mana.? Pada awalnya dipahami bersama bahwa yang dikatakan “Jangkeping Raos Iman Katholik Jawi” (lengkapnya Rasa Iman K.J.) itu tidak culup terwakili dengan istilah perasaan. Sebab perasaan belum sedalam pemahaman dan kemauan. Harus dilalui proses kerja nalar, kemauan, untuk sampai berIman dan perbuatan. Kami semula merunut gagasan “Cipta – Karsa – Karya”. Ada teman yang membawa catatan yang memberi masukan bahwa menurut seorang pakar Psikologi Tranpersonal kehidupan manusia itu dapat lihat dari 4 sisi ini :

·         Body adalah dunia fisik dari tubuh itu sendiri

·         Mind adalah pikiran , emosi/perasaan, kemauan/will

·         Soul adalah hati, kalbu ………  Suara Hati, Hati Nurani

·         Spirit adalah  roh .  (? Iman yang mendalam)

Namun hal tersebut pandangan para pakar psikologi masih beragam. Sementara itu dikatakan bahwa RASA dalam bahasa jawa lebih tepat masuk dalam Soul atau Spirit, dimana dua zone / tingkatan ini kadang kabur batasnya. Kasih Sayang (Cinta Kasih) juga masuk dalam zone ini

PEMBELAJARAN

Bertemu dalam pergumulan bersama tentang suatu hal dibutuhkan beberapa factor pendukung yaitu :

1.    Kemampuan kognitip terhadap obyek-obyek dan indikator krisis,

2.    Kemampuan evaluasi dan prediksi

3.    Kemampuan merangkai hubungan sebab akibat

4.    Keberanian mengambil keputusan dan resikonya

5.    Keterbukaan hati untuk saling berbagi pengalaman

 

Dan Sharing Pengalaman bersama itu memberi kesempatan dan  pembelajaran untuk.

o   Berlatih lagi-2 meningkatkan kemampuan2 tersebut diatas juga.

o   Menaruh Penghargaan kpd orang lain

o   Mencari kehendak Allah

o   Menguji Cinta kasih

o   Menemukan hikmah memperkaya jiwa, pengetahuan, dan menambah semangat.

Berbudaya dan beragama yang benar dan damai itu : “bertemu, terbuka, menyerap dan berbagi.. disitu kebahagiaan, bisa belajar tanpa henti.”

Leave a comment